Banner

Kamis, 26 Januari 2012

Penghimpunan Dana Prinsip Wadiah



Wadiah dapat diartikan sebagai titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya. Tujuan dari perjanjian tersebut adalah untuk menjaga keselamatan barang itu dari kehilangan, kemusnahan, kecurian dan sebagainya. Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.
Adapun rukun yang harus dipenuhi dalam transaksi dengan prinsip wadiah adalah sebagai berikut:
a. barang yang dititipkan,
b. orang yang penitipkan/penitip,
c. orang yang menerima titipan/penerima titipan, dan
d. ijab Qobul.
Bank sebagai penerima titipan tidak ada kewajiban untuk memberikan imbalan dan bank syariah dapat mengenakan biaya penitipan barang tersebut. Namun, atas kebijakannya bank syariah dapat memberikan “bonus” kepada penitip dengan syarat sebagai berikut.
1. Bonus merupakan kebijakan hak prerogatif dari bank sebagai penerima titipan.
2. Bonus tidak disyaratkan sebelumnya dan jumlah yang diberikan, baik dalam prosentase maupun nominal (tidak ditetapkan dimuka).
Jadi, bank syariah tidak pernah berbagi hasil dengan pemilik dana prinsip wadiah dan pemberian bonus atau imbalan kepada pemilik dana wadiah merupakan kebijakan bank syariah itu sendiri, sehingga dalam praktik bank syariah yang satu tidak sama dengan bank syariah yang lain. Ada bank syariah yang memberi bonus dan ada bank syariah yang tidak memberikan bonus.
Dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 59 tentang Akuntansi Perbankan Syariah dijelaskan karakteristisk wadiah sebagai berikut.
1. Wadiah adalah titipan nasabah yang harus dijaga dan dikembalikan setiap saat apabila nasabah yang bersangkutan menghendaki. Bank bertanggung jawab atas pengembalian titipan.
2. Wadiah dibagi atas wadiah yad-dhamanah dan wadiah yad-amanah.
a. Wadiah yad-dhamanah adalah titipan yang selama belum dikembalikan kepada penitip dapat dimanfaatkan oleh penerima titipan. Apabila dari hasil pemanfaatan tersebut diperoleh keuntungan maka seluruhnya menjadi hak penerima titipan.
b. Prinsip wadiah yad-amanah adalah penerima titipan tidak boleh memanfaatkan barang titipan tersebut sampai diambil kembali oleh penitip.
3. Penerima titipan dalam transaksi wadiah, dapat berupa antara lain
(a) meminta ujrah (imbalan) atas penitipan barang/uang tersebut;
(b) memberikan bonus kepada penitip dan hasil pemanfaatan barang/uang titipan (wadiah yad-dhamanah), namun tidak boleh diperjanjikan sebelumnya dan besarnya tergantung pada kebijakan penerima titipan.
Didalam Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) dijelaskan karakteristisk wadiah, giro wadiah, tabungan wadiah, dan bonus simpanan wadiah sebagai berikut.
1. Giro wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan menggunakan cek, bilyet giro, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindah bukuan. Termasuk di dalamnya giro wadiah yang diblokir untuk tujuan tertentu misalnya dalam rangka escrow account, giro yang diblokir oleh yang berwajib karena suatu perkara.
2. Tabungan wadiah adalah titipan pihak ketiga pada bank syariah yang penarikannya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati dengan kuitansi, kartu ATM, sarana perintah pembayaran lainnya atau dengan cara pemindahbukuan.
3. Atas bonus simpanan wadiah dikenakan pajak sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku.
Wadi’ ah terdiri dari dua jenis, yaitu wadiah yad at amanah dan wadiah yad at dhamanah.
1. Wadiah yad at amanah dengan karateristik yaitu merupakan titipan murni dimana barang yang dititipkan tidak boleh digunakan (diambil manfaatnya) oleh penitip, dan sewaktu titipan dikembalikan harus dalam keadaan utuh baik nilai maupun fisik barangnya, serta jika selama dalam penitipan terjadi kerusakan maka pihak yang menerima titipan tidak dibebani tanggung jawab sedangkan sebagai kompensasi atas tanggung jawab pemeliharaan dapat dikenakan biaya titipan.
2. Wadiah yad al dhamanah dengan karakteristik yaitu merupakan pengembangan dan wadi’ ah yad at amanah yang disesuaikan dengan aktifitas perekonomian. Penerima titipan diberi izin untuk menggunakan dan mengambil manfaat dari titipan tersebut (tidak idle). Penyimpan mempunyai kewajiban untuk bertanggung jawab terhadap kehilangan/kerusakan barang tersebut. Semua keuntungan yang diperoleh dari titipan tersebut menjadi hak penerima titipan. Sebagai imbalan kepada pemilik barang/dana dapat diberikan semacam insentif berupa bonus yang tidak disyaratkan sebelumnya.
Wadiah yad al dhamanah dalam kegiatan usaha bank Islam dapat diaplikasikan pada rekening giro (current account) dan rekening tabungan (saving account) yaitu bank Islam boleh menggunakan uang itu dalam proyek berjangka pendek. Bank bertanggung jawab atas keselamatan uang itu dibawah konsep jaminan, begitu juga dengan rekening giro. Tetapi, peluang bagi bank untuk menggunakannya terbatas, karena pemilik barang bisa mengambil barangnya sewaktu-waktu melalui cek karena itu, bank boleh mengenakan bayaran atas rekening giro sebagai upah sedangkan untuk wadiah amanah dapat diaplikasikan pada safe deposit box dan sejenisnya.
Aplikasi prinsip wadiah dan prinsip mudharabah dapat digambarkan sebagai berikut.

Tabungan Wadi’ah


taukah anda arti dari tabungan wadi'ah?????






Tabungan Wadi’ah
adalah Simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati tetapi tidak dapat ditarik dengan cek atau alat yang dapat dipersamakan dengan itu.
Para ahli perbankan tempo dulu memberikan pengertian tabungan merupakan simpanan sementara, maksudnya simpanan untuk menunggu apakah untuk investasi (antara lain dalam bentuk deposito), untuk keperluan sehari-hari atau konsumsi yang dapat ditarik sewaktu-waktu dalam bentuk giro.
Namun, dengan dikeluarkannya ketentuan Bank Indonesia yaitu SK Dir BI Nomor 22/63/Kep Dir tgl 01-12-1989 dan SE Nomor 22/133/UPG tgl 01-12-1989, dimana dalam ketentuan tersebut ditentukan syarat-syarat penyelenggaraan tabungan (IKPI), yaitu
a. penarikan hanya dapat dilakukan dengan mendatangi bank atau ATM,
b. penarikan tidak dapat dilakukan dengan cek, bilyat giro atau surat perintah pembayaran lain yang sejenis,
c. bank hanya dapat menyelenggarakan tabungan dalam rupiah,
d. ketentuan mengenai penyelenggaraan tabungan ditetapkan sendiri oleh masing-masing bank, dan
e. bank penyelenggara tabungan diperkenankan untuk menetapkan sendiri, yakni
1). cara pelayanan sistem administrasi, setoran, frekuensi pengambilan, tabungan pasif dan persyaratan lain;
2). besamya suku bunga, cara perhitungan, dan pembayaran bunga serta pemberian insentif, termasuk undian;
3). nama tabungan yang diselenggarakannya.
Ketentuan inilah yang membuat banyak bank kreatif, sehingga menghilangkan karakteristik tabungan yang sebenarnya. Banyak bank yang menetapkan tabungan dapat ditarik setiap saat sehingga dari segi penarikan tidak dapat dibedakan antara tabungan dan giro.
Dalam prinsip syariah sebenarnya tabungan juga merupakan simpanan sementara untuk menentukan pilihan apakah untuk investasi atau untuk konsumsi yang dapat ditarik setiap saat. Tabungan yang dapat ditarik setiap saat tersebut mempergunakan prinsip wadiah.
Dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional ditetapkan ketentuan tentang tabungan wadiah sebagai berikut:
a. bersifat simpanan;
b. simpanan bisa diarnbil kapan raja (on call) atau berdasarkan kesepakatan;
c. tidak ada imbalan yang disyaratkan kecuali dalam bentuk pemberian (athaya) yang bersifat sukarela dari pihak bank.
Jadi, tabungan wadiah merupakan tabungan yang dapat ditarik setiap saat. Oleh karena itu, tabungan dengan prinsip wadiah inilah yang dapat diberikan ATM atau kartu sejenisnya

Keuangan Dalam Perusahaan



Manajemen keuangan
Keuangan (finance) meliputi tiga area yang saling berkaitan: (1) pasar finansial (pasar uang dan pasar modal), (2) investasi sekuritas, dan (3) manajemen keuangan. Area pertama dibahas khusus pada buku teks tentang pasar finansial; area kedua dibahas khusus dalam buku teks mengenai manajemen investasi. Dengan demikian, buku ini lebih menekankan pembahasannya pada area ketiga: manajemen keuangan (managerial finance/ financial management) atau kerap pula disebut keuangan korporasi (corporate finance). Pada kebanyakan buku teks manajemen keuangan, disajikan bab tentang manajemen keuangan internasional. Dalam satu dasawarsa terakhir ini, manajemen keuangan internasional atau manajemen keuangan multinasional lazim dibahas

Ruang Lingkup Manajemen Keuangan
Ruang lingkup manajemen keuangan sesungguhnya hanya mencakup tiga hal utama, yaitu keputusan keuangan, keputusan investasi, dan kebijakan dividen.
Keputusan Keuangan (Financial Decision)
Semua keputusan manajerial yang dilakukan untuk mencari dana. Keputusan itu tercermin pada sisi kanan neraca, yang mengungkapkan seberapa besar proporsi utang dan ekuitas suatu perusahaan. Contoh keputusan keuangan adalah menentukan berapa banyak obligasi (utang jangka panjang) yang harus ditambah dan berapa banyak saham biasa baru yang perlu diterbitkan.
Keputusan Investasi (investment Decision)
Segala keputusan manajerial yang dilakukan untuk mengalokasikan dana pada berbagai macam aktiva. Boleh juga dikatakan bahwa keputusan investasi adalah keputusan bisnis, di luar keputusan keuangan. Keputusan itu tercermin pada sisi kiri neraca, yang mengungkapkan berapa besar aktiva lancar, aktiva tetap, dan aktiva lainnya yang dimiliki
perusahaan. Contoh keputusan investasi adalah menentukan apakah aktiva tetap yang sekarang dimiliki sebaiknya diganti dengan aktiva tetap baru; apakah pembangunan gedung baru sudah layak dijalankan.
Kebijakan Dividen (Dividend Policy)
Seluruh kebijakan manajerial yang dilakukan untuk menetapkan berapa besar laba bersih yang dibagikan kepada para pemegang saham dan berapa besar laba bersih yang tetap ditahan (retanined earning) untuk cadangan investasi tahun depan. Kebijakan itu akan tercermin dari besarnya perbandingan laba yang dibayarkan sebagai dividen terhadap laba bersih (dividend payout). Contoh kebijakan dividen adalah menetapkan apakah persentase pembagian dividen saat ini perlu ditingkatkan atau tetap dipertahankan sebagaimana pada tahun sebelumnya.

Perbankan Yang Dianut Di Indonesia



Tantangan Perbankan
Konsep universal banking yang menggabungkan usaha traditional banking (penyaluran kredit) dengan investment banking (jasa investasi keuangan) telah mulai diadopsi oleh perbankan dewasa ini. Tidak dapat dihindari, masuknya gejala universal banking ke Indonesia adalah sebagai akibat dari kebijakan liberalisasi sektor perbankan yang dianut di. Indonesia.
Sejalan dengan Paket Kebijakan Perbankan yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia pada 25 Januari 2005, terdapat 2 (dua) hal yang menarik. Pertama, pengetatan pembelian saham oleh perbankan. Kedua, peningkatan Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) menjadi 30% kepada BUMN untuk pembiayaan proyek yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak dan menjadi 25% untuk debitor individu maupun grup. Dengan adanya pembatasan terhadap pembelian atau belanja saham, perbankan akan kesulitan melakukan ekspansi asetnya tanpa diikuti oleh ekspansi kredit yang memadai. Pembatasan ini diharapkan akan menjadi stimulus yang dapat memicu ekspansi kredit untuk kebutuhan investasi atau kebutuhan sektor produktif komersial yang pada akhirnya akan menggerakkan perekonomian yang membawa kepada pertumbuhan ekonomi. Sementara itu, dengan semakin ditingkatkannya atau diperlonggarnya persentase BMPK maka terdapat puing yang cukup lebar bagi perbankan sehingga sangat memungkinkan bagi bank-bank untuk melakukan ekspansi kredit.
Kedua hal ini apabila diterapkan dengan baik, dapat menjadi stimulus pertumbuhan perekonomian secara makro. Di samping itu, apabila kedua kebijakan ini dipergunakan sebagai indikator tingkat kesehatan bank, diyakini akan menjadi langkah stratejik yang mampu mendorong agresifitas bisnis perbankan demi pertumbuhan ekonomi. Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana kesiapan bank-bank dalam menyikapi kebijakan ini? Untuk bank yang tidak siap, hampir dapat dipastikan akan mengakibatkan penurunan aset dan laba. Namun demikian, hampir dapat dipastikan pula bahwa bank- bank tidak menginginkan kondisi tersebut. Dengan demikian, apapun alasannya, perbankan harus berusaha keras untuk meningkatkan aset dan laba melalui fungsi intermediasi. Kebijakan ini akan membawa angin segar bagi pertumbuhan ekonomi nasional.

Sabtu, 21 Januari 2012

Menggugat Pembatasan Subsidi


Sabtu, 21 Januari 2012 18:45 wib
Ilustrasi. Foto: Heru Haryono/okezone
Ilustrasi. Foto: Heru Haryono/okezone
Meskipun banyak dipertanyakan, pemerintah telah berketetapan akan memberlakukan pembatasan penggunaan BBM bersubsidi mulai 1 April 2012.

Dengan pembatasan, seluruh pemilik kendaraan berplat hitam kecuali kendaraan roda dua akan dilarang menggunakan premium. Mereka harus beralih membeli BBM dari jenis premium berharga Rp4.500 menjadi pertamax berharga sekira Rp9.000.

Dengan kata lain, mereka harus menerima kenaikan harga hingga 100 persen! Satu paket dengan kebijakan tersebut adalah rencana pemerintah mengalihkan penggunaan BBM menjadi gas/BBG (CNG dan LGV).

Kenaikan harga BBM sebesar 100 persen ini akan sangat memberatkan sebagian masyarakat, termasuk pengusaha- pengusaha kecil pengguna kendaraan plat hitam sehingga dampak negatif secara ekonomi sangat luas. Karena itu, kebijakan pemerintah ini perlu dipertanyakan dan diuji.

Agenda Tersembunyi?
Dengan kebijakan pembatasan, sebagian rakyat terpaksa membeli BBM yang harganya naik 100 persen. Namun agar dianggap populis, pemerintah menyebutkan tidak ada kenaikan harga, sembari menyatakan bahwa pembatasan dilakukan agar subsidi BBM tepat sasaran, rakyat miskin tertolong, dan infrastruktur dapat dibangun.

Untuk itu, diambillah langkah kebijakan palsu yang mendadak dan tanpa penahapan. Padahal dengan pembatasan antara lain sebagian rakyat masih terkena dampak karena belum tersedianya alternatif transportasi publik dan/atau BBG,pasar gelap premium akan meningkat,konsumsi premium akibat meningkatnya penggunaan kendaraan roda dua tetap naik, dan konsumsi pertamax impor semakin meningkat.

Dengan begitu, secara keseluruhan keuntungan ekonomi dan sosial yang diperoleh tidak sebanding dengan dampak yang ditimbulkan. Peningkatan konsumsi pertamax akan menguntungkan SPBU asing. Dalam kondisi tanpa pembatasan saat ini SPBU asing terus mengalami pertumbuhan penjualan.

Jika pembatasan diberlakukan, keuntungan mereka akan semakin meningkat. Dalam waktu dekat pemilik SPBU asing telah merencanakan pembangunan ratusan SPBU tambahan di seluruh Indonesia. Sedangkan produksi pertamax kilang Pertamina masih kecil.

Pertamina pun harus mengimpor lebih banyak high octane mogas component (HOMC) sebagai bahan campuran minyak untuk menghasilkan pertamax. Bahan HOMC yang dibutuhkan Pertamina ini telah diproduksi Shell dan Petronas, yang dapat saja menaikkan harga untuk memenangkan persaingan.

Sementara itu, rencana pembangunan kilang baru di Indonesia terus tertunda. Sudah puluhan kali rencana pembangunan diumumkan selama tujuh tahun pemerintahan SBY, karena Indonesia sudah tidak membangun kilang baru sejak 1998. Padahal kebutuhan BBM terus meningkat.

Investor yang siap bekerja sama, baik dengan swasta nasional maupun dengan Pertamina, telah datang silih berganti untuk menandatangani MOU, baik dari Arab Saudi, Iran, Kuwait, dan Qatar maupun dari Jepang serta China. Ternyata belum satu kilang baru pun yang terwujud.

Total kebutuhan nasional BBM saat ini sekira 56 juta kiloliter (kl), dengan pertumbuhan sekira empat persen per tahun. Sementara kilang-kilang tua Pertamina hanya mampu memasok sekira 65 persen kebutuhan nasional. Dengan kebijakan pembatasan subsidi, peningkatan kebutuhan pertamax semakin tidak mampu dipasok Pertamina sehingga impor BBM semakin besar, kilang dan SPBU asinglah yang menikmati.

Dikhawatirkan mafia minyak, pemburu rente, dan investor/negara asing terus menghalangi pembangunan kilang, dan besar kemungkinan mereka pulalah yang ikut memengaruhi rencana pembatasan BBM.

Alternatif

Disadari bahwa pembatasan BBM jika dijalankan bersamaan dengan program konversi BBM ke BBG dapat dianggap salah satu langkah ideal yang patut diapresiasi. Selain lebih murah dibanding BBM, BBG juga lebih ramah lingkungan dan cadangan yang tersedia cukup banyak sehingga mendukung kemandirian dan ketahanan energi.

Peningkatan penggunaan gas memang telah menjadi tren global di seluruh dunia. Namun, program konversi ke BBG hanya bisa terlaksana jika berbagai prasyarat sudah terpenuhi, baik dalam bentuk kebijakan dan aturan maupun program, sarana, dan anggaran. Ternyata berbagai prasyarat tersebut masih belum siap.

Selama ini sejumlah pejabat pemerintah mengakui ada masalah koordinasi antarkementrian dan lembaga untuk mengatasi permasalahan gas. Hal ini berdampak pada lambat atau tindak kunjung selesainya kebijakan, program, dan sarana yang dibutuhkan. Harga gas masih belum final.

Pasokan gas belum mapan meskipun kita mampu untuk mengekspor sekira 50 persen produksi gas nasional. Sarana penyediaan gas, termasuk terminal penerima, unit regasifikasi, jaringan pemipaan, dan SPBG belum siap. Sarana penunjang terkait automotif, termasuk kit konverter dan pemeliharaan juga tidak akan mampu memenuhi lonjakan kebutuhan jika pembatasan diterapkan sejak 1 April 2012.

Idealnya, program pembatasan BBM dijalankan secara sinkron dengan program konversi ke BBG sehingga jika diterapkan, pengguna premium plat hitam dapat langsung pindah ke BBG. Namun, karena sinkronisasi tidak mungkin tercapai dalam waktu singkat seperti diuraikan di atas, pemaksaan program pembatasan BBM akan menimbulkan berbagai dampak negatif.

Apalagi, sarana transportasi publik yang memadai sebagai alternatif selain konversi sangat minim atau bahkan tidak tersedia. Sebab itu, sudah selayaknya program konversi dimodifikasi atau ditunda pelaksanaannya. Pada harga minyak dunia yang tinggi, mungkin tidak tepat jika harus memilih salah satu dari opsi kebijakan pembatasan (plus konversi) atau kenaikan harga, tetapi harus memilih keduanya.

Sementara sudah sewajarnya kebijakan pembatasan BBM tidak dipaksakan berlaku sejak 1 April 2012, karena kebijakan ini cukup jauh dari kriteria ideal atau baik yang seharusnya dipenuhi.

Selasa, 17 Januari 2012

Menuju Pasar Bebas Akuntan Asean




Singapura  menjadi tuan rumah dari pelaksanaan pertemuan ASEAN Coordinating Committe on Service ke 66, yang dilaksanakan pada tanggal 26 sampai 29 September 2011. Salah satu tujuan utama dari pertemuan ini adalah untuk membahas implementasi Mutual Recognition Agreement ( MRA).

            Kegiatan ini merupakan kelanjutan dari rangkaian pertemuan tingkat ASEAN terkait dengan pembahasan isu-isu jasa, dan kaitannya dengan persiapan negara-negara regional Asean dalam menghadapi AFTA (Asean Free Trade Area), atau yang kita kinal dengan kawasan perdagangan bebas ASEAN tahun 2015.

            Salah satu bagian dari rangkaian pertemuan di singapura ini adalah antara regulator ( Profesional Regulatory Authorities) dari nagara-negara ASEAN yang Terkait dengan MRA Framework on Accontacy Services, yang di adakan pada 27 September 2011. MRA adalah perjanjian penakuan antar negara terkait dengan jasa akuntansi di tingkat regional ASEAN.

            Pertemuan yang di gawangi oleh Sekteriat ASEAN ini di hadiri oleh perwakilan dari regulatror yang memiliki wewenang atas profesi akuntansi di masing-masing negara ASEAN. Perwakilan dari Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Malaysia, singapura, Vietnam, Filipina sebagai pengamat, dan tentunya Indonesia yang di wakili oleh perwakilan Kementrian RI. Pertemuan kali ini juga di hadiri oleh presiden ASEAN Federation of Accountans (AFA) En. Abdul Rahim Abdul Hamid, di dampingi oleh Auky Pratama dari Sektariat AFA.

            Implementasi MRA menjadi pembahasanb utama dari diskisi ini. Ikatan Akuntansi Indonesia sebagai organisasi profesi akuntan di Indonesia dan Malaysian Institute Of Accountans (MIA) telah memiliki perjanjian MRA secara bilateral, dan ini dijadikan panutan oleh organisasi-organisasi sejenis di negara ASEAN lain. Tentunya dalam jangka panjanh MRA ini dapat ditingkatkan dari perjanjian setingkat organisasi profesi ke perjanjian tingkat negara, antara Indonesia dan Malaysia. Hal ini membutuhkan kerja sama yang erat antar profesi akuntan dengan regulator yang memiliki kewenagan dalam mengatur profesi di masing- masing negara. Biasanya hal ini merupakan kewenagan dari kementrian keuangan dan regulator lain yang terkait dengan migrasi pekerja asing.
            Menurut Abdul Rahim, secara tidak di sadari, arus penggerakan akuntan antar negara telah terjadi di level firma akuntansi regional dn global. Tentu hal ini perlu menjadi pertimbangan dalam mempercepat peningkatan MRA antar negara ASEN. Pertemuan ini menyetujui pentingnya memehami bahwa sangat penting untuk memahami kondisi perekonomian dan khususnya profesi akuntan dimasing-masing negara ASEAN.

            Kehadiran AFA dalam pertemuan ini Adsalah dalam rangka penyampaian wacana pertemuan AFA dan perwakilan organisasi profesi akuntan negara-negara ASEAN, dengan perwakilan regulator negara-negara ASEAN, terkait dengan perkembangan Profesi Akuntan di tingkat Regional ASEAN. Pertemuan yang rencana nya akan di adakan dikuala lumpur pada tanggal 1 November 2011 sebagai bagian dari kegiatan AFA Conference diharapkan dapat menjadi media komunikasi antara pihak regulator dengan profrsi akuntan. Secara khusus, diharapkan pertemuan ini dapat membahas laqngkah-langkah yang dapat ditempuh untuk meningkatkan keberhasilan implementasi MRA di tingkat ASEAN.

            Dengan hal ini, akuntan Indonesia diharapkan untuk mampu aktif berperan serta dalam pembahasan isu-isu akuntansi ditingkat regional. Selain itu, akuntan Indonesia juga dituntut untuk terus meningkatkan kemampuan nya terutama dalam menghadapi persaingan dari gencarnya arus jasa akuntansi asing yang akan masuk ke Indonesia


Siapkah kita akuntan Indonesia???







                                                                       Sumber:
(Auky Pratama dari Singapura)

Kamis, 12 Januari 2012

PSAK Terkini Konvergensi IFRS


1.      PSAK 01  (revisi 2009) : Penyajian Laporan Keuangan
2.      PSAK 02  (revisi 2009) : Laporan Arus Kas
3.      PSAK 03  (revisi 2010) : Laporan Keuangan Interim
4.      PSAK 04  (revisi 2009) : Laporan Keuangan Konsilidasi dan Laporan Keuangan Tersendiri
5.      PSAK 05  (revisi 2009) : Segmen Operasi
6.      PSAK 07  (revisi 2010) : Pengungkapan Pihak – Pihak Berelasi
7.      PSAK 08  (revisi 2010) : Peristiwa Setelah Periode Peraporan
8.      PSAK 10  (revisi 2010) : Pengaruh Perubahan Vakulta Asing
9.      PSAK 12  (revisi 2009) : Bagian Partisipasi Dalam Ventura Bersama
10.   PSAK 15 (revisi 2009) : Investasi pada Entitas Asosiasi
11.  PSAK 18  (revisi 2010) : Akuntansi dan Pelaporan Program Manfaat Purnakarya
12.  PSAK 19  (revisi 2010) : Aset Tak Berwujud
13.  PSAK 22  (revisi 2010) : Kombinasi Bisnis
14.  PSAK 23  (revisi 2010) : Pendapatan
15.  PSAK 24  (revisi 2010) : Imbalan Kerja
16.  PSAK 25  (revisi 2009) : Kebijakan Akuntansi, Perubahan Estimasi Akuntansi, dan Kesalahan
17.  PSAK 28  (revisi 2011) : Akuntansi Kontrak – Asuransi Kerugian
18.  PSAK 33  (revisi 2011) : Aktivitas Pengupasan Lapisan Tanah dan Pengelolaan Lingkungan Hidup pada Pertambangan Umum
19.  PSAK 34  (revisi 2010) : Kontrak Kontruksi
20.  PSAK 36  (revisi 2011) : Akuntansi Kontrak - Asuransi Jiwa
21.  PSAK 45  (revisi 2011) : Pelaporan Keuangan Entitas Nirlaba
22.  PSAK 46  (revisi 2010) : Pajak Penghasilan
23.  PSAK 48  (revisi 2010) : Penurunan Nilai Aset
24.  PSAK 50  (revisi 2010) : Instrumen Keuangan : Penyajian
25.  PSAK 53  (revisi 2010) : Pembayaran Berbasis Saham
26.  PSAK 56  (revisi 2011) : Laba Per Saham
27.  PSAK 57  (revisi 2009) : Provisi, Liabilitas Kontinjensi, dan Aset Kontinjensi
28.  PSAK 58  (revisi 2009) : Aset Tidak Lancar yang Dimiliki untuk Dijual Operasi yang Dihentikan
29.  PSAK 60  Nop 2010     : Instrumen Keuangan: Pengungkapan
30.  PSAK 61  Nop 2010     : Akuntansi Hibah Pemerintah dan Pengungkapan Bantuan Pemerintah
31.  PSAK 62   Juni 2010     : Kontrak Asuransi
32.  PSAK 63   April 2011   : Pelaporan Keuangan dalam Ekonomi Hiperinflasi
33.  PSAK 64   Mei 20011   : Aktivitas Eksplorasi dan Evaluasi pada Perambangan Sumber Daya Mineral
34.  ISAK 07    (revisi 2009) :  Konsilidasi Entitas Bertujuan Khusus
35.  ISAK 09    Des 2009     : Perubahan Atas Liabilitas Aktivitas Purnaoperasi, Restorasi, dan Liebilitas Serupa
36.   ISAK 10   Des 2009     : Program Loyalitas Pelanggan
37.  ISAK 11    Des 2009     : Distribusi Nonkas Kepada Pemilik
38.  ISAK 12    Des 2009     : Pengendalian Bersama Entitas: Kontrobusi Nonmoneter oleh Venturer
39.   ISAK 13  Maret  2010  : Lindung Nilai Investasi Neto Kegiatan Usaha Luar Negri
40.  ISAK 14   Feb  2010      : Aset Tak Berwujud – Biaya Situs Web
41.  ISAK 15   Okt 2010       : PSAK 24 – Batas Aset Imbalan Persyaratan pendanaan Minimum dan Interaksinya
42.  ISAK 16    Feb  2010      : Perjanjian Konsesi Jasa
43.  ISAK 17   Nov  2010     : Laporan Keuangan Interm dan Penurunan Nilai
44.   ISAK 18   Nov  2010     : Bantuan Pemerintah – Tidak Berelasi Spesifik dengan aktifitas Operasi
45.   ISAK 19   Apr 2010       : Penerapan Pendekatan Penyajian Kembali Dalam PSAK 63: Pelaporan Keuangan Dalam Ekonomi Hiperinflasi
46.  ISAK 20  Des  2010        : Pajak Penghasilan – Perubahan dalam Status Pajak Entitas atau Para Pemegang Saham
47.  ISAK 22   Feb  2011       : Perjanjian Konsensi Jasa: Pengungkapan
48.  ISAK 23   Jun  2011        : Sewa Operasi – Insentif
49.  ISAK 24   Jun 2011         : Evaluasi Subtansi Beberapa Transaksi yang Melibatkan Suatu Bentuk Sewa
50.  PPSAK 2,3,4,5 Des 2009 : Pernyataan Pencabutan Standar Akuntansi Keuanagan : PPSAK No 2, 3, 4, dan 5
51.  PPSAK 06  Feb 2011        : Pencabutan PSAK 21, ISAK 2, dan ISAK 3
52.  PPSAK 08  Apr 2011        : Pencabutan PSAK 27: Akuntansi Koprasi
53.  PPSAK 11  Jun 2011         : Pencabutan PSAK No, 39: Akuntansi Kerja Sama Operasi