Alhamdulillah yahhhhhhhhhh...
Hmj Akuntansi pada tanggal 20 oktober 2011 telah sukses mengadakan acara Bedah Buku dengan pengarang nya Bapak Rudianto yang bertempat di Aula Grawidya Sabha Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon. Terima kasih buat para peserta yang telah mengikuti acara dengan baik,tidak lupa buat panitia yang okeeeeeeeee bangettttttttttt . . .!!!!!
website yang menyediakan banyak artikel tentang pekerjaan tips-tips materi kuliah akuntansi manajemen yang memiliki ruang lingkup ekonomi yang luas serta berdaya saing global
Banner
Senin, 24 Oktober 2011
Kamis, 13 Oktober 2011
Berbagai Hambatan dalam Penerapan Kebijakan Moneter Inflation Targeting
Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang
dilanda krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu.
Tingginya tingkat krisis yang dialami negri kita ini diindikasikan dengan laju
inflasi yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan
tabungan, berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar
negeri, serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa
dibiarkan untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu
kebijakan dalam mengatasinya.
Kebijakan
moneter dengan menerapkan target inflasi yang diambil oleh pemerintah
mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi pemerintah dalam
mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya peran pemerintah.
Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi yang tinggi,
tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Penerapan kebijakan moneter dengan menggunakan target
inflasi (inflation targeting) ini diharapkan dapat menciptakan
fundamental ekonomi makro yang kuat. Makalah ini akan membahas berbagai hal
yang berkaitan dengan target inflasi, yang meliputi pengertian, evolusi teori,
prasyarat, karakteristik dan elemen target inflasi. Agar dapat mengetahui
dengan jelas kondisi ekonomi nasional Indonesia hingga tahun 2000 ini, maka
dalam pembahasan juga dipaparkan tentang perkembangan ekonomi makro Indonesia.
PEMBAHASAN
1. Perkembangan Ekonomi Makro di
Indonesia Sejak Tahun 1980-an.
Program pembangunan bidang ekonomi di Indonesia telah
dimulai sejak tahun 1970-an dan menunjukkan perkembangan yang pesat sejak tahun
1980-an. Pada masa itu pemerintah memberikan banyak kemudahan bagi para investor
yang akan berinvestasi di bidang keuangan dan perbankan. Hingga pertengahan
tahun 1990-an perekonomian Indonesia terlihat semakin kuat dan mulai terpandang
di dunia internasional. Dalam artikel ini akan dibahas perkembangan ekonomi di
Indonesia saat mulai berkembang tahun 1980-an hingga terjadinya krisis moneter
pada tahun 1997.
2. Perkembangan Moneter Perbankan.
Krisis moneter di Indonesia telah memporak-porandakan
sektor keuangan yang sebelumnya tengah berkembang pesat sejak tahun 1980-an.
Dalam upaya pemulihan sektor keuangan Indonesia, telah dilakukan
restrukturisasi sistem moneter sejak tahun 1998. Bentuk nyata restrukturisasi
dilakukan dengan cara menyehatkan bank dan memberikan independensi kepada Bank
Sentral. Meski telah menelan banyak biaya dan telah dilaksanakan lebih dari
tiga tahun, namun proses penyehatan sistem moneter belum menunjukkan
tanda-tanda akan berakhir.
3. Kebijakan Moneter
Kondisi ekonomi negara Indonesia
pada masa orde baru sudah pernah memanas. Pada saat itu pemerintah melakukan kebijakan moneter
berupa contractionary monetary policy dan vice versa. Kebijakan
tersebut cukup efektif dalam menjaga stabilisasi ekonomi dan ongkos yang harus
dibayar relatif murah. Kebijakan moneter yang ditempuh saat ini berupa open
market operation memerlukan ongkos yang mahal. Kondisi ini diperparah
dengan adanya kendala yang lebih besar, yaitu pengaruh pasar keuangan
internasional.
4. Kebijakan Fiskal.
Berdasarkan AD/ART pemerintah negara Indonesia,
sebagaimana yang dipublikasikan oleh BI, untuk semester pertama tahun anggaran
2000 terlihat bahwa telah terjadi defisit anggaran yang disebabkan oleh
peningkatan pengeluaran untuk subsidi dan pembayaran bunga hutang. Meski
sebenarnya terjadi peningkatan penerimaan, namun ternyata besarnya peningkatan
penerimaan masih jauh lebih rendah dibanding peningkatan pengeluaran.
Dominasi kebijakan moneter dibanding kebijakan fiskal
dan deregulasi sektor riil menyebabkan terjadinya kebijakan makro ekonomi yang
tidak seimbang.
5 Prospek Ekonomi Jangka Pendek.
Ditinjau dari aspek ekonomi makro, kinerja perekonomian bukan hanya dipengaruhi
oleh faktor-faktor internal, namun juga dari faktor eksternal. Kondisi ekonomi
sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan keamanan dalam negeri. Untuk
beberapa tahun ke depan, kegiatan ekonomi Indonesia diperkirakan akan mengalami
peningkatan, dengan asumsi kondisi politik dan keamanan stabil. Peningkatan
pertumbuhan ekonomi bertumpu pada kenaikan ekspor yang dewasa ini mulai membaik
kembali.
6 Target Inflasi.
Pengertian.
Ada berbagai kebijakan yang biasa dipergunakan oleh
pemerintah dalam menangani permasalahan ekonomi, misalnya kebijakan moneter dan
kebijakan fiskal. Target inflasi merupakan salah satu bentuk kebijakan moneter
yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia dalam upaya pemulihan kondisi ekonomi
nasional. Dalam hal ini Bank Indonesia selaku bank sentral menetapkan target
laju inflasi untuk periode jangka waktu tertentu. Dengan demikian, kebijakan
target inflasi lebih berorientasi ke depan (forward looking) dibanding
kebijakan-kebijakan moneter sebelumnya (yang oleh BI disebut juga kebijakan
konvensional).
Tidak seperti halnya kebijakan moneter konvensional
yang senantiasa mempergunakan target antara besaran moneter, dalam target
inflasi diperggunakan proyeksi inflasi. Kalaupun harus mempergunakan target
antara, biasanya akan digunakan tingkat bunga jangka pendek.
Evolusi
Teori.
Inflasi sebagai sasaran utama dan indepensi bank sentral sebagai pengendali
inflasi merupakan landasan dari target inflasi. Konsep target inflasi ini
merupakan produk dari evolusi teori moneter dan akumulasi pengalaman empiris.
Teori-teori moneter yang memberikan kontribusi bagi pematangan konsep ini
meliputi teori klasik hingga teori modern, antara lain:
·
Teori Klasik
>< Teori Keynes.
Menurut teori Klasik, kebijakan moneter tidak
berpengaruh terhadap sektor riil. Sedangkan menurut teori Keynes, sektor
moneter dan sektor riil saling terkait melalui suku bunga. Berdasarkan
perkembangan teori dan pengalaman empirik, disimpulkan bahwa dalam jangka
panjang teori yang sesuai untuk dipergunakan adalah teori Klasik, sedangkan
dalam jangka pendek teori Keynes lebih tepat. Kebijakan moneter hanya mempunyai
dampak permanen pada tingkat harga umum (inflasi). Dengan kata lain bahwa
pembenahan sektor ekonomi dapat dilakukan dengan cara pengendalian inflasi.
· Teori klasik
modern >< Teori Keynes.
Salah satu penganut teori klasik modern, Milton
Friedman, mengemukakan bahwa kebijakan rule lebih baik dibanding discretion.
Pendapat tersebut bertolak belakang dengan teori Keynes. Kemudian, untuk
menentukan pilihan atas rule vs discretion, target inflasi
menawarkan suatu framework yang mengkombinasikan keduanya secara
sistematis, yang disebut dengan constrained discretion. Karena pada
dasarnya, dalam praktik kebijakan moneter tidak ada yang murni rules
ataupun murni discretion.
·
Teori
kuantitas >< Teori Keynes.
Teori Keynes mempergunakan tingkat bunga sebagai
sasaran antara, sedangkan dalam teori kuantitas digunakan jumlah uang beredar.
Penggunaan sasaran antara, baik berupa tingkat bunga maupun kuantitas uang,
akan menyebabkan pembatasan diri terhadap informasi. Guna menghindarkan polemik
ini, kebijakan target inflasi menentukan inflasi sebagai sasaran akhir. Dengan
demikian target inflasi menggunakan mekanisme transmisi yang relevan, tidak
harus tingkat bunga ataupun kuantitas uang. Dengan mengambil inflasi sebagai
sasaran akhir, otoritas moneter dapat lebih bebas dan lebih fleksibel dalam
menggunakan semua data dan informasi yang tersedia untuk mencapai sasaran,
karena inflasi dipengaruhi bukan hanya oleh satu faktor.
·
Teori rational
expectations.
Teori rational expectations
menyebutkan bahwa faktor ekspektasi mempunyai peran penting, karena
mempengaruhi perilaku dan reaksi para pelaku ekonomi terhadap suatu kebijakan.
Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi output dalam jangka pendek,
karena setelah ekspektasi masyarakat berperan, output akan kembali
seperti semula. Ekspektasi masyarakat inilah yang menjadi kunci keberhasilan
yang harus dapat dikendalikan. Dengan penerapan target inflasi dalam kebijakan
moneter, diharapkan dapat menjadi anchor bagi ekspektasi masyarakat.
·
Teori
moneter modern.
Dalam perkembangan selanjutnya, teori
moneter modern memasukkan aspek kredibilitas yang bersumber dari masalah time
inconsistency. Artinya bahwa inkonsistensi dalam kebijakan moneter dapat
terjadi apabila otoritas moneter terpaksa harus mengorbankan sasaran jangka
panjang (inflasi) demi mencapai sasaran lain dalam jangka pendek. Agar hal ini
tidak terjadi, maka pengendalian inflasi harus menjadi sasaran tunggal, atau
setidaknya menjadi sasaran utama. Menetapkan inflasi sebagai
sasaran utama berarti menghindarkan diri dari inkonsistensi kebijakan.
7 Prasyarat.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan
moneter dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaannya. Prasyarat tersebut
meliputi:
-
Indepensi
Bank Sentral.
Sebenarnya tak ada Bank Sentral yang bisa bersifat
benar-benar independen tanpa campur tangan dari pemerintah. Namun demikian, ada
instrumen kebijakan yang tidak dipengaruhi oleh pemerintah, misalnya melalui
kebijakan fiskal.
-
Fokus
terhadap sasaran.
Pengendalian inflasi hanyalah salah satu di antara
beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank Sentral. Sasaran-sasaran
lain kadang-kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian inflasi, misalnya
sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca pembayaran, dan kurs.
Oleh karena itu, seharusnya bank Sentral tidak menetapkan sasaran lain dan
berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi.
-
Capacity to
forecast inflation.
Bank Sentral mutlak harus mempunyai kemampuan untuk
memprediksi inflasi secara akurat, sehingga dapat menetapkan target inflasi
yang hendak dicapai.
-
Pengawasan
instrumen
Bank Sentral harus memiliki kemampuan untuk mengawasi
instrumen-instrumen kebijakan moneter.
-
Pelaksanaan
secara konsisten dan transparan.
Dengan pelaksanaan target inflasi secara konsisten dan
transparan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang ditetapkan
semakin meningkat.
-
Fleksibel
sekaligus kredibel
Biasanya, kebijakan yang fleksibel akan cenderung
kurang kredibel dan hal itu merupakan dilema dalam penentuan kebijakan. Aturan
Taylor (Taylor’s rule) dapat dipergunakan sebagai pedoman untuk
mengatasi dilema tersebut.
8 Karakteristik.
Dalam
mengatur/menggunakan instrumen, kebijakan target inflasi ini lebih berwawasan
ke depan. Hal ini dapat dilihat dari karakteristik yang dimilikinya, yaitu:
- Dalam kebijakan ini target dan indikator inflasi ditentukan terlebih dahulu dan dipergunakan sebagai pegangan dalam pelaksanaan kebijakan moneter.
- Dalam kebijakan ini juga dibuat prediksi inflasi di masa yang akan datang. Prediksi dilakukan dengan mempergunakan data besaran moneter, tingkat bunga, kurs, harga aset, harga barang industri dan sebagainya.
- Melakukan review terhadap kinerja kebijakan moneter. Hasil tinjauan tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan evaluasi untuk memperbaiki kinerja selanjutnya.
9 Elemen-elemen.
Berdasarkan teori dan penjabaran di atas, maka dapat disimpulkan bahwa
elemen-elemen dalam target inflasi terdiri atas:
- Sasaran target inflasi.
Sasaran utama dalam kebijakan target inflasi adalah
pengendalian inflasi. Kalau ada sasaran-sasaran lain di samping sasaran ini,
maka sasaran yang lain harus tunduk pada sasaran utama.
- Laporan pelaksanaan
Mestinya, publik perlu untuk mengetahui sasaran
kebijakan ini. Sehubungan dengan hal tersebut, maka hasil yang telah dicapai
oleh kebijakan ini harus dimonitor, dilaporkan dan diumumkan secara periodik.
Ini penting bagi publik agar dapat mengukur keberhasilan kebijakan ini, karena
akan berpengaruh terhadap ekspektasi masyarakat.
- Independensi
Dengan adanya independensi dalam menentukan kebijakan,
maka peluang tercapainya sasaran akan lebih maksimal.
- Komunikasi
Dalam pelaksanaan kebijakan ini perlu adanya komunikasi
yang efektif terhadap publik tentang cara-cara pencapaian sasaran inflasi dan
mekanisme transmisi yang jelas.
- Data dan informasi
Data dan informasi yang relevan, terbaru dan lengkap
diperlukan untuk melakukan analisis kebijakan yang prima.
10 Prospek.
Kebijakan target inflasi ini
telah dilaksanakan di negara-negara Selandia Baru, Kanada, Inggris, Finlandia,
Swedia, Australia, Spanyol, Korea dan Filipina. Negara-negara tersebut
mendapatkan keberhasilan dalam menekan laju inflasi dengan penerapan kebijakan
ini.
Seperti halnya Indonesia,
negara-negara tersebut sebelumnya juga mempergunakan kebijakan moneter dengan
target antara. Karena adanya kesamaan permasalahan dan latar belakang, maka
diharapkan pelaksanaan target inflasi di negara kita juga akan dapat menuai
keberhasilan.
11 Berbagai Hambatan Dalam Pelaksanaan
Targat Inflasi.
Meski kebijakan target inflasi ini cukup menjanjikan,
namun sebenarnya terdapat banyak hambatan yang berkaitan dengan banyaknya
prasyarat yang harus dipenuhi dalam pelaksanaannya di Indonesia. Ditambah
dengan adanya faktor lain yang juga menjadi kendala dalam pemberlakuan
kebijakan ini. Secara singkat, hambatan-hambatan dapat dijelaskan sebagai
berikut:
-
Hambatan
dalam menciptakan independensi
-
Sulitnya
menciptakan independensi bank sentral, karena hingga saat ini sistem
pemerintahan Indonesia tidak memungkinkan untuk memberikan kewenangan penuh
terhadap suatu lembaga/otoritas dalam menjalankan fungsi pengawasan instrumen
keuangan. Dengan kata lain bahwa pemerintah tidak dapat benar-benar tidak turun
campur tangan dalam urusan lembaga pengawas, meski lembaga tersebut disebut
lembaga independen. Para pejabat dalam lembaga tersebut digaji oleh pemerintah,
yang berarti loyalitas mereka terhadap pemerintah tak diragukan lagi. Hal ini
jelas-jelas menyebabkan fungsi pengawasan tak dapat berjalan sebagaimana
mestinya.
-
Hambatan
dalam memprediksi inflasi.
-
Kemampuan
untuk memprediksi inflasi merupakan kunci utama dalam pelaksanaan kebijakan
target inflasi. Kemungkinan besar, peramalan inflasi di Indonesia akan sulit
dilaksanakan. Hal ini berkaitan dengan kondisi politik dan keamanan yang boleh
dikatakan tidak menentu akhir-akhir ini. Padahal, stabilitas nasional
sangat berperan dalam menentukan kondisi ekonomi suatu negara. Untuk saat ini,
para investor masih beranggapan bahwa negara kita tidak cukup kondusif bagi
investasi. Isu-isu seputar politik dan keamanan daerah sudah rawan untuk
memporak-porandakan perekonomian nasional. Jika stabilitas belum tercapai,
mustahil dapat memprediksi dengan cermat.
-
Hambatan
dalam mewujudkan kebijakan secara konsisten dan transparan.
-
Pelaksanaan
kebijakan target inflasi secara konsisten dan transparan juga akan sulit
terwujud. Tingkat korupsi di Indonesia yang sedemikian tinggi akan mempersulit
pemerintah dalam meraih kepercayaan dari masyarakat. Juga maraknya praktik
kolusi yang menyebabkan sikap masyarakat semakin apatis dan enggan
berpartisipasi dalam pelaksanaan pemulihan krisis ekonomi. Kebijakan target
inflasi belum tentu didukung oleh masyarakat, kecuali apabila lembaga pelaksana
kebijakan ini dapat meyakinkan masyarakat bahwa aparaturnya negara bersih dan
bebas korupsi.
-
Hambatan
dalam mewujudkan kebijakan secara fleksibel dan kredibel.
-
Menjalankan
kebijakan secara fleksibel sekaligus kredibel juga bukan merupakan pekerjaan
yang mudah. Jika kebijakan diberlakukan secara lentur, maka akan membuka kesempatan
korupsi dan kolusi, sehingga menyebabkan incredible. Demikian juga
sebaliknya, apabila kebijakan ini lebih berfokus pada kredibilitas, maka akan
timbul sifat inflexible.
-
Tingkat
keparahan krisis.
-
Faktor lain
adalah tingkat keparahan krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sudah
tergolong akut, sehingga penanganannya juga lebih sulit dibanding negara-negara
lain. Mungkin kebijakan target inflasi ini berhasil diberlakukan di negara-negara
lain, namun belum tentu akan sesuai diberlakukan di Indonesia.
III. KESIMPULAN
-
Kondisi perekonomian Indonesia yang terpuruk akibat krisis memerlukan upaya
pemulihan dengan menggunakan kebijakan moneter. Kebijakan yang diterapkan
berupa inflation targeting yang telah berhasil mengentaskan problem
inflasi di berbagai negara di dunia.
-
Target inflasi dicetuskan dari perkembangan evolusi teori-teori ekonomi dan
dalam pelaksanaannya ditentukan oleh kondisi suatu negara dengan
prasyarat-prasyarat untuk keberhasilan sistem ini.
-
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter diharapkan dapat mengembangkan
kebijakan yang secara efektif dapat memulihkan stabilisasi ekonomi jangka
pendek dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi berkelanjutan, dengan ongkos yang
minimal.
-
Pemulihan kondisi ekonomi yang stabil bukan hanya ditentukan oleh faktor
internal, namun juga faktor eksternal, misalnya kondisi politik dan keamanan
negara.
-
Target inflasi nampaknya akan sulit untuk diberlakukan sebagai salah satu
kebijakan moneter di Indonesia, mengingat berbagai hambatan yang harus
dihadapi.
Bermimpi Indonesia Merdeka dari Utang
Ketergantungan
pada utang luar negeri dan intervensi asing membelenggu Indonesia untuk bisa
membuat lompatan-lompatan jauh ke depan dalam perbaikan ekonomi. Benarkah
Indonesia sekarang ini mengalami apa yang disebut sebagai Fisher’s Paradox?
Mengapa
semakin besar utang luar negeri yang dibayar, semakin besar akumulasi utang?
Benarkah kita sudah merdeka secara ekonomi?
Seorang
panelis pada Diskusi ”Sewindu Reformasi Mencari Visi Indonesia 2030” pekan lalu
mengatakan, sampai sekarang ia tidak melihat ada keinginan dan komitmen jelas
dari pemerintah untuk menghentikan ketergantungan pada utang atau keluar dari
jerat utang.
Hal ini bisa
dilihat dari tidak adanya langkah signifikan yang ditempuh pemerintah untuk mengurangi
beban utang luar negeri. Mulai dari langkah moderat dengan menolak utang baru
hingga langkah paling radikal meminta penghapusan utang, atau bahkan melakukan
pembangkangan dengan mengemplang utang karena sebagian utang luar negeri yang
ada saat ini dianggap sebagai utang najis (odious debt).
Alih-alih
meminta penghapusan utang, sekadar mempercepat pelunasan utang kepada Dana
Moneter Internasional (IMF) pun pemerintah terkesan berat hati. Tahun lalu,
keberatan untuk mempercepat pelunasan utang kepada IMF dikemukakan antara lain
oleh Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah.
Menurut
Gubernur BI, meskipun tidak dapat digunakan, dana IMF yang masih tersisa
sebesar 7,8 miliar dollar AS bisa diputar oleh BI untuk menambah penghasilan
pemerintah.
Tahun ini,
setelah IMF menaikkan suku bunga pinjaman dari 3,5 menjadi 4,5 persen,
keberatan untuk mempercepat pelunasan utang IMF disuarakan langsung oleh
pejabat Departemen Keuangan. Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Mulia P
Nasution mengatakan pelunasan utang kepada IMF dapat memancing para spekulan
untuk menarik dana mereka dari Indonesia.
Sikap ini
dinilai sebagai upaya mempertahankan intervensi IMF di negeri ini. Sikap
pemerintah yang menolak anjuran Koalisi Anti-Utang agar menghapuskan utang lama
dan menolak utang baru juga sangat bertolak belakang dengan kecenderungan
internasional yang semakin kritis terhadap utang. Kritik tidak hanya muncul
berkaitan dengan efektivitas utang itu sendiri, tetapi juga sisi
kelembagaannya, sisi ideologi, serta implikasi sosial politiknya.
Dari
efektivitas, secara internal utang luar negeri tidak hanya menghambat tumbuhnya
kemandirian ekonomi negara-negara pengutang. Utang juga mengakibatkan kontraksi
belanja sosial, merosotnya kesejahteraan rakyat, dan melebarnya kesenjangan
ekonomi (Pearson, 1969; Kindleberger dan Herrick, 1997; Todaro, 1987).
Secara
eksternal, utang luar negeri juga meningkatkan ketergantungan negara-negara
Dunia Ketiga pada pasar luar negeri, modal asing, dan juga pada tradisi
pembuatan utang luar negeri secara berkesinambungan (Payer, 1974; Gelinas,
1998).
Dari sisi
kelembagaan, lembaga-lembaga keuangan multilateral penyalur utang luar negeri,
seperti IMF, Bank Dunia, dan Bank Pembangunan Asia (ADB) sendiri dinilai tidak
transparan dan tidak akuntabel. Mereka dianggap sebagai kepanjangan tangan
negara-negara negara-negara maju pemegang saham utama lembaga-lembaga tersebut,
untuk mengintervensi negara-negara pengutang (Rich, 1999; Stiglitz, 2002;
Pincus dan Winters, 2004).
Dari sisi
ideologi, utang luar negeri dituding telah dipakai oleh negara-negara kreditor,
terutama AS, sebagai sarana untuk menyebarluaskan kapitalisme neoliberal ke
seluruh penjuru dunia dan ”menguras dunia” (Erlerm, 1989). Dari sisi implikasi
sosial politik, utang luar negeri dicurigai sengaja dikembangkan oleh
negara-negara kreditor untuk mengintervensi negara-negara pengutang.
Secara tidak
langsung, utang dianggap juga bertanggung jawab atas lahirnya rezim-rezim
diktator, kerusakan lingkungan, meningkatnya tekanan migrasi, perdagangan
obat-obatan terlarang, serta terjadinya konflik dan peperangan (Gilpin, 1987;
George, 1992; Hanton, 2000).
Masalah
utang luar negeri sebenarnya bukan masalah baru bagi Indonesia, karena
Indonesia sudah menjadi pelanggan utang, bahkan sebelum merdeka. Tetapi, utang
baru menjadi masalah serius setelah terjadi transfer negatif bersih (utang yang
diterima lebih besar dibandingkan cicilan pokok dan bunga utang yang harus
dibayar setiap tahun) dalam transaksi utang luar negeri pemerintah pada tahun
anggaran 1984/1985.
Tahun 1950,
utang pemerintah tercatat 7,8 miliar dollar AS, terdiri dari utang warisan
Hindia Belanda 4 miliar dollar AS dan utang luar negeri baru 3,8 miliar dollar
AS.
Pada awal
kemerdekaan, sikap Soekarno-Hatta sebagai Bapak Pendiri Bangsa cenderung
mendua. Di satu sisi, mereka memandang utang luar negeri sebagai sumber
pembiayaan yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat peningkatan kesejahteraan
rakyat. Di sisi lain, mereka mewaspadai kemungkinan penggunaan utang luar
negeri sebagai sarana untuk mencederai kedaulatan Indonesia sehingga mereka
cenderung menetapkan persyaratan cukup ketat dalam membuat utang luar negeri.
Syarat
tersebut, negara kreditor tidak boleh mencampuri urusan politik dalam negeri,
dan suku bunga tidak lebih dari 3-3,5 persen per tahun. Selain itu, jangka
waktu utang cukup lama, untuk keperluan industri 10-20 tahun dan untuk
pembangunan infrastruktur lebih lama lagi (Hatta, 1970).
Jadi, selain
melihat utang luar negeri sebagai sebuah transaksi ekonomi, mereka dengan sadar
memasukkan biaya politik sebagai pertimbangan dalam berutang. Sikap ini pula
yang membuat Soekarno waktu itu dengan gagah, berani mengatakan ”go to hell
with your aid” kepada AS yang berusaha mengaitkan utang dengan tekanan politik.
Pemutus lingkaran setan?
Pasca-Soekarno,
utang mengalami pembengkakan secara dramatis. Orde Baru, dipelopori oleh
kelompok orang-orang terbaik yang disebut Mafia Berkeley, menganggap utang luar
negeri sebagai salah satu langkah tepat untuk memutus lingkaran setan
kemiskinan melalui pembangunan besar-besaran (the big push theory), yang di
antaranya dibiayai dengan utang.
Total utang
yang pada akhir era Soekarno baru sebesar 6,3 miliar dollar AS (terdiri dari 4
miliar dollar AS warisan Hindia Belanda dan 2,3 miliar dollar AS utang baru)
membengkak menjadi 54 miliar dollar AS pada akhir pemerintahan Soeharto.
Selama dua
tahun era BJ Habibie, utang bertambah lagi 23 miliar dollar AS menjadi 77
miliar dollar AS. Sekarang ini total utang luar negeri sekitar 78 miliar dollar
AS. Ditambah utang dalam negeri, pada pascakrisis 1997, total utang Indonesia
pernah mencapai sekitar Rp 2.100 triliun.
Dengan total
utang Rp 1.318 triliun dan jumlah penduduk sekitar 210 juta jiwa sekarang ini,
setiap penduduk Indonesia (termasuk bayi baru lahir) terbebani utang sekitar Rp
7 juta.
Sementara
kekayaan alam dan kemandirian serta kapasitas kita untuk meningkatkan
kesejahteraan rakyat terus tersandera oleh beban membayar cicilan dan bunga
utang yang menyita hingga sepertiga sendiri anggaran belanja APBN. Posisi Utang
Rp 1.318 ini terdiri dari Rp 636,6 triliun utang dalam negeri dan 76,6 miliar
dollar AS utang luar negeri.
Hasil
penelitian Reinhard, Rogoff, dan Savastano tahun 2003 (Almizan Ulva, 2004),
batas aman rasio utang luar negeri (pemerintah dan swasta) terhadap PDB negara
berkembang adalah 15-20 persen.
Apabila
seluruh portofolio utang pemerintah dikonversi menjadi utang luar negeri,
menurut Almizan Ulva—peneliti dari Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan
Kerja Sama Internasional Depkeu—rasio utang luar negeri pemerintah terhadap PDB
(tahun dasar 2000) pada 2004 adalah sebesar 52,2 persen. Tingginya angka ini
menyebabkan risiko gagal bayar (default) Indonesia juga tinggi.
Sebenarnya
utang luar negeri masih bisa diterima selama itu digunakan dengan baik untuk
membangun ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan rakyat, serta tidak
mengakibatkan beban berlebihan pada keuangan negara dan tidak diembel-embeli
dengan persyaratan yang memberatkan. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia,
utang banyak bocor sehingga sasaran yang ingin dituju melalui strategi big push
theory juga tidak tercapai.
Prinsip gali
lubang tutup lubang masih terjadi karena untuk membayar utang lama, pemerintah
harus terus membuat utang baru. Akibat salah kelola utang, Indonesia dalam lingkaran
setan perangkap utang (debt trap). Sebuah kajian independen Bank Dunia pernah
menyebutkan, sekitar 30 persen utang luar negeri dikorupsi oleh rezim berkuasa
pada era Soeharto sehingga kemudian muncul anggapan utang itu utang ”najis”
yang tidak pantas dibayar.
Tudingan
bahwa lembaga seperti IMF dan Bank Dunia diboncengi kepentingan
perusahaan-perusahaan dari negara-negara kreditor juga diakui oleh AS. Selama
kurun tahun 1980-an hingga awal 1990-an saja, IMF sudah menerapkan program
penyesuaian struktural di lebih dari 70 negara berkembang yang mengalami krisis
finansial. Setiap tahun, Bank Dunia juga memberikan sekitar 40.000 kontrak
kepada perusahaan swasta. Sebagian besar kontrak ini jatuh ke
perusahaan-perusahaan dari negara-negara maju.
Departemen
Keuangan AS mengaku, untuk setiap dollar AS yang dikontribusikan AS ke
lembaga-lembaga multilateral, perusahaan-perusahaan AS menerima lebih dari dua
kali lipat jumlah itu dari kontrak-kontrak pengadaan untuk program-program atau
proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman lembaga-lembaga tersebut.
Ini bukan
hanya terjadi pada pinjaman multilateral. Pinjaman bilateral, seperti dari
Jepang, pun biasanya diikuti persyaratan sangat ketat menyangkut penggunaan
komponen, barang, jasa (termasuk konsultan), dan kontraktor pelaksana untuk
pelaksanaan proyek. Melalui modus ini, selain bisa me-recycle ekses dana yang
ada di dalam negerinya, Jepang sekaligus bisa menggerakkan perusahaan dalam
negerinya yang lesu lewat pengerjaan proyek-proyek yang dibiayai dengan dana
utang ini.ngutang
Dari
pinjaman yang disalurkannya ini, dana yang mengalir kembali ke Jepang dan
negara-negara maju lain sebagai kreditor jauh lebih besar ketimbang yang
dikucurkan ke Indonesia sebagai pengutang. Dus Indonesia sebagai negara debitor
justru menyubsidi negara-negara kaya yang menjadi kreditornya.
Yang belum
terlihat sampai sekarang memang keinginan atau komitmen kuat Pemerintah
Indonesia untuk mengurangi utang. Memang benar banyak negara lain berutang. Bahkan,
AS yang besar itu pun memiliki utang sangat besar. Tetapi, mereka memiliki
kapasitas untuk membayar.
Seperti kata
seorang panelis, kemandirian hanya bisa dibangun jika kita bisa menolong diri
sendiri. Dalam kaitan dengan utang, mungkin menolong diri sendiri untuk keluar
dari jebakan utang.
Hal ini
terbuka untuk dilakukan dengan cadangan devisa yang kini sekitar 43 miliar
dollar AS. Namun, tampaknya pemerintah tidak mengambil kesempatan itu, seperti
juga mereka tidak pernah memaksimalkan diplomasi utang untuk mengurangi beban
utang yang ada.
Untuk bisa
menatap 2030 sebagai bangsa bermartabat dan berdaulat, tidak diintervensi
kekuatan atau kepentingan luar, kita harus berani membebaskan diri dari utang
yang bersamanya ada persyaratan yang mengikat kebebasan kita untuk mengatur
ekonomi dalam negeri kita sendiri sesuai dengan kebutuhan lokal dan demi
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kalaupun
tidak langkah drastis seperti mengemplang utang, setidaknya ada semacam
konsensus nasional untuk menghentikan tradisi membuat utang baru. Visi soal
utang dan kemandirian ekonomi ini yang belum ada sekarang ini.
(Sri Hartati Samhadi)
(Sri Hartati Samhadi)
sumber:http://www.kompas.com/kompas-cetak/0605/20/sorotan/2659164.htm
Langganan:
Postingan (Atom)